Cirebon, Makinnews.com- Sengketa lahan di Jalan Ampera, Kota Cirebon, memasuki babak baru. Sebanyak 105 warga menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Cirebon ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, buntut dari pemblokiran 65 sertifikat tanah yang mereka miliki sejak lebih dari satu dekade lalu.
Pemblokiran itu dilakukan BPN atas permintaan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) yang mengklaim lahan tersebut sebagai aset milik daerah. Namun, warga menilai klaim itu tidak berdasar karena Pemprov Jabar tak bisa menunjukkan bukti kepemilikan sah atas lahan yang telah mereka tempati sejak 1950-an.
Pada Jumat (25/4/2025), Majelis Hakim PTUN Bandung melakukan pemeriksaan setempat di lokasi yang disengketakan. Turut hadir dalam pemeriksaan ini perwakilan dari BPN Kota Cirebon serta para penggugat yang didampingi kuasa hukum mereka.
“Hari ini dilakukan pemeriksaan setempat untuk mencocokkan data yang ada di lapangan dengan dokumen dalam perkara. Dari hasil pemeriksaan, ternyata lokasi yang dicek memang sesuai, meski tidak seluruh titik dicek, hanya secara acak,” ujar kuasa hukum warga, Tjandra Widyanta, SH.
Menurut Tjandra, klaim kepemilikan oleh Pemprov Jabar tidak dapat dibuktikan secara hukum. Pemprov hanya mencatat Jalan Ampera sebagai aset dalam Kartu Inventaris Barang (KIB) pada tahun 1999, tanpa dasar hak yang kuat.
“Dalam persidangan, seharusnya ditunjukkan alas hak. Tapi sampai saat ini Pemprov tidak bisa menunjukkannya. Ini menjadi dasar gugatan kami,” ujarnya.
Warga Jalan Ampera sendiri telah menempati kawasan itu sejak era 1950-an, sebagian besar merupakan buruh pelabuhan yang kemudian menetap dan membangun rumah. Pada tahun 1993, warga mulai mengurus sertifikat tanah mereka dan permohonan itu dikabulkan negara.
Namun pada tahun 2012, muncul surat dari Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov Jabar yang meminta pemblokiran terhadap sertifikat-sertifikat warga. Proses pemblokiran resmi tercatat di buku tanah pada 13 Desember 2023, membuat warga kehilangan hak untuk menjual, mengagunkan, atau mewariskan tanah mereka.
“Selama 13 tahun warga hidup dalam ketidakpastian. Mereka tidak bisa memanfaatkan sertifikat yang sah secara hukum. Ini bukan hanya merugikan secara ekonomi, tapi juga menimbulkan keresahan berkepanjangan,” kata salah seorang warga, Ari Sandi Irawan.
Ia menambahkan, Pemprov Jabar pernah meminta sewa kepada warga berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 1958 tentang Kesejahteraan Buruh, meskipun belakangan diketahui bahwa lahan tersebut tidak tercatat sebagai milik pemerintah di sektor perburuhan.
“Survey waktu itu menyebutkan Jalan Ampera bukan milik Pemprov Jabar. Tapi anehnya, pada 1999 mereka tiba-tiba mencatatkan lahan ini sebagai aset daerah,” ujarnya.
Ari Sandi pun menegaskan bahwa saat warga mengurus sertifikat, negara melalui Pemprov Jabar telah menerima pembayaran dari mereka.
“Artinya, negara sudah menerima pemasukan dari permohonan sertifikat warga. Tapi tiba-tiba diblokir, tanpa dasar yang jelas. Ini bentuk ketidakadilan. Warga Jalan Ampera merasa telah dizalimi bertahun-tahun!” tegasnya.
Kasus ini pun kini menjadi perhatian publik, menyusul perjuangan warga untuk memperoleh kejelasan dan keadilan atas hak milik mereka yang dibekukan tanpa kejelasan hukum selama lebih dari satu dekade.