Jakarta, Makinnews.com- Sedikitnya ada empat perusahaan lembaga asuransi jiwa yang diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masalahnya masih menjadi perbincangan hingga saat ini. Perusahaan tersebut adalah Wanaartha Life, AJB Bumiputera 1912, Asuransi Jiwasraya dan Kresna Life.
Untuk mengetahui lebih dalam menyoal banyaknya asuransi yang selalu menimbulkan banyak korban dan kerugian, pakar hukum Ekonomi dan Asuransi Petrus Loyani, SH.,MH.,MBA., MBA in Finance & Banking secara rinci membongkar praktik para oknum mafia berkedok asuransi.
Petrus mengatakan secara sederhana asuransi itu adalah pertanggungan. Orang membayar premi untuk menanggung resiko atas dirinya, dalam konteks ini kesehatan atau jiwanya.
Tetapi dalam perkembangan lembaga asuransi, mereka melebarkan sayapnya dengan hasil uang premi (nasabah). Maksud dari itu, secara tidak langsung nasabah membeli tanggungan dan tabungan. Itulah cara pihak asuransi agar nasabah bisa mengerti akan hal itu.
Modus Lembaga Asuransi
Pakar Ekonomi yang membidangi Perpajakan, Perbankan (Credit)
Pasar Modal, Perniagaan (PKPU, Pailit dan HKI), Perdagangan Internasional dan Claim Asuransi Kesehatan/Jiwa. Secara tegas menyatakan ada hal yang lebih berbahaya dari apa yang selama ini masyarakat belum ketahui.
“Ada yang lebih berbahaya yang disebut unit link, nasabah beli tanggungan tapi sebagian tidak ditabung melainkan dimainkan di reksadana atau saham. Itulah yang berbahaya dan nasabah tidak mengerti,” ungkap Petrus yang juga Ketua Umum Perkumpulan Pengacara Pajak Indonesia (Perjakin), saat ditemui di kantor hukum Boutros&Co, Jakarta Barat, Selasa (10/9/2024).
Pakar Ekonomi dan Asuransi lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu juga memberikan gambaran, misalnya saya membeli premi 100 juta pertahun, yang menjadi pertanyaan ialah berapa yang saya belikan tanggungan dan berapa yang dimainkan di saham oleh asuransi. Itulah yang tidak jelas, berapa income yang didapat dan hasil dari saham tersebut.
“Secara umum ketika kita menjadi nasabah di lembaga asuransi, kita tidak bisa menutup asuransi dan klaim apapun penyakitnya. Karena 30% premi kita diberikan kepada marketing atau agen asuransi, sedangkan 70%-nya digunakan oleh asuransi itu,” papar Magister Hukum.
Petrus juga menegaskan kekonyolan skema klaim lembaga asuransi, di tahun ke 2 dan seterusnya bisa klaim tapi hanya penyakit tertentu. Itulah yang membingungkan nasabah dalam memperoleh haknya. Maka dari itu banyak lembaga asuransi memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat, jadi bisa dikatakan para nasabah itu tertipu dengan janji manis yang ditawarkan pihak asuransi.
“Jadi modusnya mereka terbitkan polis sekaligus sertifikat untuk saham semacam deposito atau tabungan, padahal itu tidak diperbolehkan. Saya menelisik kasus Jiwasraya modusnya semacam itu,” tandas Konsultan Hukum Litigasi dan Non Litigasi.
Jadi ribuan nasabah dalam 1 lembaga asuransi dengan modus operandi dijualnya polis dengan sertifikat melalui bank-bank sehingga nasabah percaya, lalu mereka (asuransi) bekerjasama dengan manajemen investasi yang dimiliki oleh Benny Tjokro dkk. Itulah yang terjadi dalam kasus Jiwasraya.
Kemudian persoalan lainnya, kenapa OJK tidak mengawasi sedari dini melakukan penyetopan sebelum mencuat ke permukaan. Model-model transaksi yang derivatif tapi sebenarnya menipu, sehingga bagi orang awam akan terjerumus kedalam praktik seperti itu.
“Hal itulah yang menyebabkan lembaga asuransi tidak sehat, dengan dalih menggunakan produk derivatif yang sebenarnya itu sudah keluar dari skema asuransi itu sendiri,” kata Petrus Loyani yang banyak berkiprah dalam dunia hukum dan ekonomi.
Kemampuan OJK Mengawasi Lembaga Asuransi
Seharusnya OJK mampu mengantisipasi hal itu, lalu kenapa lembaga keuangan seperti OJK terlihat pasif. Saat terjadi kasus semacam itu baru muncul, bahkan saat terjadinya itu juga OJK seakan tidak memihak kepada para korban (nasabah).
Selain itu, penegakan hukumnya juga harus diberikan terhadap pengawas OJK yang dihukum seberatnya.
“Seperti dalam kasus Benny Tjokro dkk, mereka bisa bermain kalau dikasih effort oleh OJK. Jadi kongkalikong itu terjadi dalam kasus lembaga asuransi yang gagal bayar kepada nasabahnya,” bebernya.
Bicara soal administratif pencabutan ijin oleh OJK terhadap asuransi nakal sangat tidak efektif. Pasalnya, ketika lembaga asuransi dicabut ijinnya, dikemudian hari pelaku ini akan membuat lembaga asuransi baru dengan nama yang berbeda.
“Tak hanya lembaganya, melainkan korporasinya juga dihukum termasuk para pemegang sahamnya,” tegas ia.
Maksimalkah Undang-Undang PPSK
Petrus berpendapat, dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) itu sanksinya masih terlihat guyonan, karena itu juga bersifat administratif.
“Para pelaku harusnya dijerat hukuman berat dan dimasukkan pasal penipuan, penggelapan dan sebagainya. Apalagi jika hanya dipenjara, sama sekali tidak berefek pada pelakunya. Penjara saja tidak cukup, sebab mereka di dalam tahanan bisa menikmati berbagai fasilitas,” jelasnya.
Saya berharap aparat penegak hukum mampu melakukan perampasan aset milik pelaku, baik usahanya untuk dikembalikan kepada nasabah dan jika tersisa ya dikembalikan ke negara. Jika dirasa kurang aset pribadinya rampas juga sampai miskin, itulah yang harusnya diterapkan oleh pemerintah.
Lebih dari itu, kita kan memiliki hukuman mati. Gunakanlah hukuman itu, jangan berdalih Pancasila, Hak Asasi Manusia dan sebagainya. Padahal kan jelas, pelakunya saja tidak peduli berapa ribu korban yang telah ia rampas hartanya sampai milyaran bahkan triliunan totalnya.
“Alasan mendasar kenapa hukuman mati tidak ditegakan, karena pada prakteknya para penegak hukum menikmati permainan kotor yang dilakukan pelaku. Mereka senang jika ada pengusaha seperti itu, semakin kotor dan hitam perbuatan pelaku mereka semakin senang,” pungkas pengacara senior.
Jadi prinsipnya, bila aparat penegak hukum tidak menjalankan hukum sebagaimana mestinya, maka sulit negara ini untuk maju.
Memilih Asuransi yang sehat dan tepat
Tak hanya memberikan pandangan hukum, pengacara kondang ini juga mengedukasi masyarakat agar lebih berhati-hati dalam memilih lembaga asuransi.
Pilihlah asuransi yang transparan sekaligus mengedukasi calon nasabahnya. Seperti menjelaskan tentang manfaat bergabung dalam asuransi:
bila Anda sakit, jelaskan penyakit apa saja yang bisa diklaim, kemudian ketika meninggal berapa yang diterima. Jangan berbelit-belit dengan klausul-klausul.
Jika tanggungannya bersifat derivatif, harus juga dijelaskan. Jadi terdapat 2 polis:
1. Polis tanggungan
2. Polis tabungan
Tak terkecuali dalam permainan saham, nasabah juga harus diberikan penjelasan. Jadi pilihan ada di nasabah, tidak serta merta nasabah dijadikan objek asuransi yang didalamnya terdapat unit lain.
Transparansi OJK
Kembali kepada OJK, lembaga itu juga harus mengontrol secara penuh dan transparan akan informasi, lembaga asuransi mana yang sehat dan tidak sehat. OJK harus mereport 3 bulan sekali kepada masyarakat, kan OJK mewakili masyarakat tentang keterbukaan informasi, jangan ditutupi dan ditimbun sampai akhirnya terjadi patgulipat.
Bila OJK tidak transparan, maka kalau ada asuransi dengan nilai jelek tidak menutup kemungkinan adanya permainan. Jadi pengawasan OJK yang tidak ada peningkatan dan kualitasnya, maka akan menerus terjadi kongkalikong.
“OJK itu dibentuk oleh pemerintah untuk kepentingan publik. Karena mereka hidupnya dengan iuran, jadi tidak memihak kepada publik. Sehingga berakibat lemahnya pengawasan OJK, karena banyak persekongkolan disitu,” tutupnya.