Makinnews, Jakarta- Ditengah era serba instan seperti saat ini bisa dikatakan sulit, bisa juga dikatakan mudah. Dunia digital seringkali membantu pekerjaan setiap manusia dimuka bumi ini, dari aktivitas pekerjaan, pendidikan, perekonomian dan masih banyak lagi. Tentu dengan teknologi menjadikan aktivitas menjadi lebih efesien dan cepat. Selain bermanfaat untuk memenuhi segala kebutuhan segala sektor. Digital seperti Smartphone mudah digunakan dan ringan dibawa kemanapun kita berpergian, bagaimana tidak, harganya juga bervariatif, sehingga setiap kalangan bisa untuk memilikinya, selain murah, cara pembeliannya juga terbilang mudah, sejak adanya pilihan metode pembayaran seperti cara kredit menjadikan sebagian dari kita tidak perlu menunggu lama untuk membelinya.
Perubahan yang begitu cepat seringkali salah dipahami oleh kedua orangtua saat ini, mereka menjadikan gadget sebagai penolong untuk bisa beristirahat ditengah lelahnya mengasuh anak-anak mereka. Terkadang mereka dengan bangganya ketika anak diusia dini sudah bisa mengoperasikan teknologi seperti handphone. Tidak sedikit anak dibawah usia dibawah 2 tahun sudah terpapar sinar Blue light, tentu ini sangat berbahaya bagi kesehatan maupun perkembangan sibuah hati.
Kini pola pengasuhan yang berubah secara drastis tidak bisa dipungkiri. Smartphone seringkali mengganti peran orang tua ketika didalam rumah, mereka memang terlihat hadir secara fisik, namun ketidakhadiran secara psikologis, seringkali membuat orang tua tidak menyadarinya. Peran ayah digantikan dengan gamenya, seorang ibu, sibuk dengan media sosialnya.
Lantas anak kapan mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan cinta dari kedua orang tuanya? Bukankah mereka berdua sudah seharian sibuk bekerja, selain itu ditambah meninggalkan sibuah hati yang mungkin dititipkan kepada neneknya atau diasuh oleh orang lain. Sebaik apapun penghasuhan orang lain tidak bisa mengalahkan peran dari kedua orangtuanya. Bisa jadi sibuah hati terasa terabaikan dengan semua itu, memang anak tidak mengatakan apa yang ia rasakannya, namun ketahuilah, semua kejadian itu akan tersimpan di otak alam bawah sadarnya. Dan akan terlihat dampak dari itu ketika mereka dewasa kelak.
Mirisnya, penulis seringkali melihat ditengah masyarakat anak dari usia 2 sampai 5 tahun sudah kecanduan Smartphone, ketika tidak diberikan, anak-anak akan tantrum, sehingga bisa berbuat kasar kepada siapapun yang mencoba melarangnya dalam menggunakan smartphone tersebut.
Tentu ini sangat berbeda jauh dengan generasi yang tumbuh sebelum adanya smartphone. Mereka dibesarkan dengan waktu penuh oleh kedua orang tuanya, karena orang tua terdahulu tidak sibuk dengan HPnya, ditambah sedikit dari generasi 90an kedua orang tua terutama ibu yang menjadi wanita karier. Tentu ini kelebihan untuk pengasuhan terhadap anak-anak mereka.
Perkembangan sosial, motorik, maupun intelektual berbeda jauh dengan generasi saat ini. Tentu ada kelebihan dan kekurangan dari 2 generasi tersebut. Penulis akan fokus terhadap permasalahan sibuah hati yang diberikan gadget sejak dibawah 2 tahun, dan dampak ketidakhadiran orang tua secara psikis terhadap anak.
Pertama, anak yang diberikan gadget dibawah 2 tahun akan mengalami speech delay, keterlambatan motorik kasar maupun halus, kenapa demikian? Karena ketika anak asik dengan handphonenya, ia tidak akan berkomunikasi dua arah, berbeda dengan berkomunikasi secara langsung yang dilakukan oleh kedua orangtuanya, kosakata yang didapatkan anak jauh lebih banyak, karena ia akan meniru ucapan yang disampaikan oleh kedua orangtuanya. Dampak lain, ia tidak akan banyak bergerak, sehingga mengalami keterlambatan motorik seperti berjalan, berlari dan aktivitas fisik lainnya.
Lantas, mengapa ketika anak mereka berlarian dan melompat-lompat, selalu dikatakan “jangan nanti jatuh”, padahal ini melatih motorik dan keberanian anak itu sendiri, ditambah meningkatkan kesehatan dan daya imunnya. Lalu kenapa kita tidak mengatakan “jangan” ketika anak kita menggunakan smartphone? Bukankah itu bisa menghambat pertumbuhannya? Apakah karena anak agar bisa duduk diam? Sehingga tidak menjadikan kita sebagai orang tua tidak capek?, apakah karena anak agar tidak bermain sehingga menjadikan pakaiannya kotor? Sadarkah kita mungkin anak terlihat bersih dan sehat, apakah kalian mengetahui dampak dari smartphone tersebut? bahaya kecanduan Smartphone lebih besar dibandingkan anak itu jatuh karena berlarian.
Tentu orang tua tidak semua seperti itu, ada juga orang tua memiliki pemahaman waktu yang tepat ketika memberikan teknologi kepada anaknya. Semua itu tergantung dari pengetahuan agama, pendidikan formal, lingkungan, dan kecerdasan dari orang tua itu sendiri.
Penulis banyak menemukan perbedaan orang tua yang belajar parenting dan yang tidak. Perbedaan itu bisa dilihat dari perkembangan anak-anak mereka. Ketidakhadiran peran ayah, menjadikan anak tidak percaya diri,jago kandang, dan sulit bersosialisasi kepada teman sebayanya. Ditambah ucapan dengan ada tinggi dari seorang ibu, yang tentu menjadikan anak itu kurang dalam berkonsentrasi, karena sel neuron bisa mengalami kerusakan akibat dari ucapan itu. semua itu banyak dialami dari kalangan orang tua ekonomi bawah yang tidak mau belajar ilmu parenting. Dan cenderung lebih menggunakan cara mendidik anak seperti yang dilakukan orang tuanya kepada dirinya dahulu, ini membuktikan ketidaksiapan pasangan muda menjadi seorang suami istri karena tidak mencari tahu dalam seni mendidik anak, padahal sudah jelas ucapan sahabat Ali bin Abi Thalib mengatakan didiklah anakmu sesuai generasinya. Tentu berbeda mendidik anak generasi X dan generasi Alpha. Tidak mungkin anak bahagia kalau yang mendidiknya (orang tua) tidak bahagia, mana mungkin orang tua bisa bahagia, kalau tidak memiliki ilmu pengetahuan. Mana mungkin anak memiliki pengetahuan kalau guru pertamanya (orang tua) tidak menuntut ilmu. Bagaimana generasi yang akan datang bisa bersaing di masa depan, kalau kita sebagai orang tua tidak mencetak generasi itu sejak dini?