Jakarta, Makinnews.com- Selama lebih dari 30 tahun, mereka telah merawat tanah tersebut dengan penuh kasih sayang, menanaminya dengan tanaman yang subur, memagari dengan beton yang kokoh, dan menjaganya dengan tiga keluarga yang setia.
Namun, pada 24 Agustus 2024, kehidupan mereka tiba-tiba berubah. Tanpa pemberitahuan, alat berat milik PT Swakarsa Wiramandiri yang terafiliasi dengan PT Sentul City Tbk meratakan lahan mereka. Pasangan lansia ini merasa terkejut dan kecewa, karena mereka tidak pernah diberi kesempatan untuk membela diri.
Belum lagi, PT Swakarsa Wiramandiri menggugat pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM) mereka ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Dan yang lebih mengejutkan lagi, majelis hakim mengabulkan gugatan tersebut, membatalkan SHM yang telah mereka miliki selama lebih dari 30 tahun.
Kantor Hukum Risma Situmorang & Partner kemudian mendampingi pasangan lansia ini dalam menghadapi ketidakadilan hukum tersebut. Mereka berjuang untuk membela hak-hak pasangan lansia ini dan memastikan bahwa keadilan hukum ditegakkan.
Kisah pasangan lansia ini menjadi pengingat bahwa keadilan hukum harus ditegakkan bagi semua orang, tanpa terkecuali. Mereka berharap bahwa kasus mereka dapat menjadi perhatian bagi semua pihak, dan bahwa hak-hak mereka sebagai pemilik tanah dapat dipulihkan.
Dengan geram Risma mempertanyakan dengan dasar dan nalar apa hakim, hanya dengan perjanjian lama yang tidak berlaku lagi. “Hakim bisa membatalkan sertifikat resmi yang dipegang klien kami puluhan tahun? Ini preseden buruk, karena sudah tidak ada lagi kepastian lagi bagi pemegang SHM,” ujar Risma Situmorang selaku kuasa hukum saat konferensi pers, Jumat (13/6/2025).
Perjanjian yang digunakan PT Swakarsa sebagai dasar gugatan membatalkan SHM adalah perjanjian tahun 1994 tentang pemanfaatan tanah eks-HGU 1981 yang berakhir 2001 dan tidak pernah diperpanjang, dan tanah pun tidak pernah dikuasai secara nyata oleh penggugat. Dalam sidang pemeriksaan setempat pada April 2025, pihak BPN menyatakan tanah eks HGU karena teah berakhir kembali menjadi tanah negara, dan SHM milik Albert dan istrinya Pintauli benar berada di lokasi pemeriksaan setempat.
“Kami temukan berbagai kejanggalan dalam penanganan perkara ini. Majelis hakim menyatakan PT Swakarsa menguasai tanah sejak 1981, padahal mereka baru ada dalam perjanjian 1994. Saya mempersoalkan dan mencurigai saat pemeriksaan lapangan, para hakim kedapatan berada satu mobil dengan saksi penggugat, sehingga menduga adanya permainan hakim PTUN Bandung. Ini jelas melanggar kode etik dan perilaku hakim,” tegas Risma.
Gugatan perdata perbuatan melawan hukum atas perusakan pagar dan tanah juga diajukan ke Pengadilan Negeri Cibinong, namun putusan sela maret 2025 tidak diterima alasan bukan kewenangan Pengadilan Negeri. Anehnya, hakim dalam pertimbangannya menyebutkan adanya rencana pemeriksaan lapangan oleh PTUN Bandung tanggal 11 april 2025 sebelum jadwal tersebut diumumkan secara resmi. Sehingga Risma menduga perkara ini sudah dikondisikan, PMH di NO di Peradilan Umum PN Cibinong dan SHMnya dibatalkan di PTUN Bandung.
Atas kejanggalan-kejanggalan itu, pasangan lansia ini kini secara resmi menggugat para hakim PTUN Bandung atas dugaan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Bandung, juga telah mengadukan hakim ke Komisi Yudisial, Badan Pengawas MA, hingga ke Ketua Mahkamah Agung RI.
“Kami tidak diam. Kami telah mengirim surat kepada Ketua MA RI Prof. Dr. Sunarto dan lembaga-lembaga pengawas. Harapan kami tinggal di Ketua Mahkamah Agung. Kalau sertipikat tanah resmi yang sudah berumur 30 tahun saja bisa dibatalkan seperti ini, bagaimana rakyat kecil bisa tenang?” ucap Risma lantang.
Kuasa hukum menyatakan bahwa saat ini pihaknya tengah menempuh jalur kasasi baik untuk perkara perdata dan banding untuk perkara TUN. Risma menekankan pentingnya perhatian publik dan media atas kasus ini sebagai cermin krisis kepastian hukum agraria dan krisis kepercayaan kepada hakim.
“Selama langit belum runtuh, keadilan masih ada. Tapi jika hakim menyimpang dari fakta dan hukum, ini jelas bukan lagi keadilan, itu pengkhianatan terhadap hukum dan sumpah profesi hakim,” tutup Risma.
Sementara itu, Albert dan Pintauli berharap tanah yang dibeli hasil kerja keras mereka saat muda bisa kembali seperti sediakala. “Ini hasil keringat saya, yang saya kumpulin pelan-pelan. Dan istri saya ini seorang guru sebelumnya. Sudah tahu lah gaji guru seperti apa. Mau diapain lagi, mau kemana lagi. kondisi kami semakin tua, ditambah dengan kejadian seperti ini bikin kita stres,” ujar Albert.