Jakarta, Makinnews.com- Indonesia tengah mengalami pergeseran demografi yang krusial. Meski saat ini 69,3 persen penduduk berada dalam usia produktif, populasi lansia tumbuh dengan pesat. Menyanggapi fenomena ini, DBS Foundation bersama Bank DBS Indonesia menyelenggarakan diskusi lintas sektor bertajuk “Impact Beyond Dialogue – Future-Proofing Indonesia: From Demographic Bonus to Aging Readiness” . Diskusi ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mempersiapkan sistem sosial dan ekonomi yang inklusif terhadap lansia, sekaligus mendorong kolaborasi lintas generasi dan lintas sektor.
Acara ini dihadiri oleh Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono , Group Head of Strategic Marketing and Communications DBS Bank & Head of DBS Foundation Karen Ngui, President Director, Bank DBS Indonesia Lim Chu Chong, Founder Alzheimer’s Indonesia & Regional Director Asia Pacific Alzheimer’s Disease International DY Suharya , President Director Living Well Seniors Communities Benjamin Cass, Founder Everest Media & Board Member of Mayapada Hospital Grace Tahir, Direktur Utama PT Blue Bird Tbk Adrianto Djokosoetono, Entrepreneur & Content Creator Raymond Surya Chin , serta Senior Anchor/Director CNN Indonesia Desi Anwar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa proporsi lansia meningkat dari 9,78 persen pada tahun 2020 menjadi 11,75 persen atau sekitar 32 juta jiwa. Proyeksinya jelas: pada tahun 2030, Indonesia akan resmi memasuki era penuaan populasi dengan lebih dari 14 persen penduduk berusia di atas 60 tahun. Menjelang puncak “Indonesia Emas” pada tahun 2045, angka ini diperkirakan mencapai 63 juta jiwa, dengan satu dari lima warga Indonesia akan berusia di atas 60 tahun atau setara dengan 20 persen dari total populasi.
Group Head of Strategic Marketing and Communications DBS Bank & Head of DBS Foundation Karen Ngui mengatakan, “Penuaan penduduk bukan sekadar tantangan, tetapi jika dipersiapkan dengan baik, justru bisa kita melihat sebagai peluang luar biasa. Kami percaya bahwa setiap individu, termasuk lansia, memiliki potensi memberikan kontribusi kepada masyarakat. Maka dari itu, prioritas program DBS Foundation saat ini adalah membangun kemitraan dalam menciptakan solusi inovatif untuk mempersiapkan setiap orang menuju masyarakat menua dengan hidup sehat, bermakna, dan penuh martabat, salah satunya melalui Impact Beyond Dialogue. Dengan ini, DBS Foundation mengubah transformasi dari mengamati lansia sebagai beban menjadi bagian dari solusi.”
Perubahan struktur demografi di satu sisi membawa tantangan lintas sektor, namun juga membuka peluang strategi dalam pengembangan silver economy , yaitu aktivitas ekonomi yang fokus pada penyediaan kebutuhan dan pemberdayaan kelompok lansia.
Gotong Royong antara Pemerintah, Swasta, & Masyarakat untuk Menghadapi Menua Masyarakat
Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono mengapresiasi diskusi mengenai isu penuaan dalam konteks bonus demografi. “Biasanya, orang membahas sisi bonus demografi dari berlimpahnya usia produktif. Tapi kali ini, kita juga melihat tantangan penuaan yang muncul secara bersamaan,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa pemerintah tidak hanya berupaya meningkatkan angka harapan hidup, tetapi juga kualitas hidup lansia melalui pendekatan HALE (health-adjusted life Expectancy ). Menurutnya, peningkatan kualitas hidup lansia membutuhkan ekosistem yang inklusif—mulai dari kebijakan yang tepat hingga peran aktif dan masyarakat sektor swasta.
“Harapan hidup orang Indonesia saat ini mencapai 72,39 tahun, tapi HALE-nya baru 63 tahun. Artinya, meskipun usia hidup meningkat, hampir 10 tahun di antaranya tentu belum dalam kondisi sehat,” ungkapnya. “Inilah yang menjadi prioritas Kementerian: tidak hanya menaikkan angka harapan hidup, tetapi juga memastikan lansia menjalani hidup yang sehat dan berkualitas.”
Founder Alzheimer’s Indonesia & Regional Director Asia Pacific Alzheimer’s Disease International DY Suharya menekankan pentingnya pemberdayaan bagi kelompok lansia Indonesia. “Usia 60 ke atas masih panjang perjalanannya. Mereka harus diberdayakan, bukan dianggap beban,” ujar DY Suharya, menggarisbawahi pentingnya potensi menghargai dan martabat para lansia.
Meskipun strategi nasional terkait perawatan dan kesehatan lansia telah ada, ia menyoroti bahwa implementasi dan evaluasinya masih sangat terbatas. “Strategi nasional sudah ada, namun pelaksanaan dan pemantauannya masih minim. Kita sangat membutuhkan sinergi konkret dari seluruh pihak untuk menciptakan dampak yang nyata. Seruan ini menekankan perlunya kerja sama yang lebih kuat antara pemerintah, sektor swasta, organisasi komunitas, organisasi profesi, dan masyarakat luas.”
Pelajaran dari Negara Asia Lain untuk Indonesia dan Peluang Investasi Silver Economy
Forum diskusi ini juga menampilkan beberapa studi kasus dari negara-negara lain. President Director Living Well Seniors Communities Benjamin Cass membagikan pelajaran yang dapat dipelajari di Indonesia dari negara-negara seperti Jepang, Singapura, hingga Australia yang telah lebih dulu menghadapi tantangan populasi menua.
“Indonesia memiliki sekitar 14-15 ahli gerontologi untuk mendukung negara yang terdiri dari 275 juta jiwa. Ini kontras jika dibandingkan dengan Australia yang memiliki 1.000 ahli untuk 30 juta warga,” jelas Benjamin Cass. “Selain itu, menurut saya, tidak wajar bila lansia harus menghabiskan 10-15 tahun masa pensiunnya hanya dengan duduk menonton televisi. Kita perlu jujur menghadapi kenyataan ini. Masa tua harus produktif dan bermakna, dihabiskan bersama keluarga dan teman, bukan sebagai warga tidak produktif yang hanya menunggu waktu.”
Ia juga menerangkan perlunya investasi terhadap infrastruktur untuk populasi menua, seperti Singapura yang menganggarkan SGD100 juta untuk 200 pusat perawatan lansia. Lebih dari itu, diskusi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan seluruh pemangku kepentingan menjadi krusial untuk mencegah berkembangnya keadaan ini menjadi masalah di kemudian hari.
Selain itu, Bank DBS Indonesia juga melakukan studi yang bertajuk DBS Aging Society pada bulan April-Mei 2025. Survei yang dilakukan secara online terhadap 400 responden dari usia 22-59 tahun yang berada di Jakarta, Surabaya dan Medan ini mengungkap gambaran nyata antara harapan masyarakat dan institusi kesiapan dalam penanganan era populasi menua:
-
69 persen responden masih mengandalkan keluarga sebagai sumber dukungan emosional di masa tua
-
Hanya 41 persen yang percaya pemerintah siap menghadapi tantangan ini, dengan skeptisisme tertinggi muncul dari kelompok usia 44-59 tahun (66 persen menilai pemerintah belum siap)
-
Sebaliknya, 53 persen responden menilai sektor swasta lebih siap melalui berbagai program pensiun
-
Tiga prioritas utama yang diharapkan dari pemerintah adalah peningkatan akses layanan kesehatan (43 persen), peluang kerja dan pengembangan keterampilan bagi lansia (28 persen), serta dukungan sistem pensiun (28 persen).
Hal ini mempertegas urgensi kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam membangun ekosistem ekonomi perak yang inklusif. Bank DBS Indonesia berkomitmen mendukung solusi holistik dalam menahan tantangan penuaan populasi melalui pendekatan finansial dan sosial yang berdampak.
Inovasi Sektor Perbankan untuk Layanan Keuangan yang Inklusif
Sementara itu, Presiden Direktur, Bank DBS Indonesia Lim Chu Chong menekankan bahwa inklusivitas lansia juga harus diwujudkan dalam solusi perbankan dan layanan pelanggan bagi nasabah.
Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2023, hanya 33,53 persen lansia yang memiliki tabungan di lembaga keuangan. Data terbaru dari survei kami juga menunjukkan penyimpangan pengetahuan yang serius—meski 74 persen orang Indonesia mengaku memiliki rencana pensiun, 36 persen generasi muda usia 22-27 tahun tidak tahu cara memulai perencanaan pensiun, ungkap Lim Chu Chong .
Temuan survei DBS Aging Society bahkan mengungkap fenomena yang mengejutkan: kelompok usia 44-59 tahun yang mendekati masa pensiun justru menunjukkan kesiapan perencanaan pensiun terendah (66 persen), lebih rendah dibandingkan generasi lebih muda (77 persen responden usia 22-43 tahun mengaku sudah punya perencanaan pensiun). Kendati demikian, sebagai kompensasi, mereka memiliki strategi investasi yang lebih matang, dengan 52 persen mengandalkan properti, 43 persen kepemilikan bisnis, dan 35 persen pendapatan pasif. Berbeda dengan generasi muda yang masih bergantung pada tabungan konvensional.
“Sebagai bank yang menggerakkan tujuan positif, Bank DBS Indonesia berkomitmen mendampingi nasabah di setiap fase kehidupan melalui solusi perbankan yang mendukung kesiapan pensiun hingga perencanaan kekayaan lintas generasi,” kata Lim Chu Chong . Terlebih lagi, 69 persen masyarakat terbuka untuk bekerja pasca-pensiun, yang mencerminkan perubahan pola pikir dari pensiun menjadi akhir karir menjadi babak baru yang produktif.
Merespons tren ini, ia menambahkan bahwa sektor keuangan memiliki peran strategis dalam membangun perekonomian perak. “Dengan menyediakan layanan inklusif, mendorong edukasi finansial, dan menjalin kemitraan dengan sektor kesehatan serta wirausaha sosial, kami ingin menciptakan dampak yang lebih luas. Ke depan, kami akan mengeksplorasi kolaborasi lintas industri untuk merancang produk perbankan yang holistik bagi lansia, agar mereka tetap aktif secara ekonomi, finansial, dan sosial.”
Seluruh upaya ini sejalan dengan pilar keberlanjutan Bank DBS Indonesia yang ketiga, yakni Impact Beyond Banking , dalam mencapai tujuan untuk menjadi ‘ Best Bank for a Better World ‘.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai inisiatif DBS Foundation terkait masyarakat menua atau ageing society, silakan kunjungi www.dbs.com/foundation/ageing .