Makinnews, Jakarta- Indonesia sedang mengalami krisis demokrasi, hal ini bukan tidak beralasan di mana kita melihat negara dengan menggunakan kekuasaannya melalui aparat penegak hukum melakukan kriminalisasi dan penangkapan terhadap para aktivis pro demokrasi, salah satunya pegiat media sosial yaitu Palti Hutabarat.
Hal itu diungkapkan Rahmat Himran selaku koordinator Gerakan Pro Demokrasi (GPD) dalam aksi di Mabes Polri menuntut agar Palti Hutabarat segera dibebaskan, Senin (22/1/2024).
Sebelumnya, pada Jumat (19/1) kemarin sekitar pukul 03.44 pagi Direktorat Siber Bareskrim Polri, melakukan penangkapan terhadap Palti Hutabarat, seorang penggiat media sosial. Penangkapan itu dilakukan atas dugaan menyebarkan berita bohong melalui platform sosialnya.
Penangkapan Palti Hutabarat didasari oleh dua laporan yang diterima, yaitu dari Amru Riandi Siregar kepada Polisi Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) dan laporan dari Muhammad Wildan kepada Bareskrim Mabes Polri.
“Kami dari Gerakan Pro Demokrasi mengecam tindakan penangkapan yang dilakukan oleh Bareskrim Polri terhadap saudara Palti Hutabarat,” tegas Rahmat.
Sebagaimana yang diungkapkan pakar komunikasi politik Henri Subiakto, bahwa penangkapan Palti Hutabarat aparat hukum keliru dalam menerapkan Pasal UU ITE.
“Polisi jelas keliru dalam memahami dan menerapkan pasal 28 ayat (3) UU No 1 tahun 2024 tentang Revisi Kedua UU ITE. Penangkapan Palti Hutabarat memakai pasal tersebut jelas keliru. Kami harus mengoreksi kesalahan polisi ini. Bagaimana mungkin Palti dikenakan pasal yang pengertian dan unsurnya tidak memenuhi,” ucap Henri.
Dalam pasal tersebut berbunyi, setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan “kerusuhan” di masyarakat.
Henri jelaskan, yang dimaksud “kerusuhan” adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik. Bukan kondisi di ruang digital/siber (pasal 28 ayat 3).
“Artinya pasal larangan menyebarkan berita bohong itu baru bisa dipidana jika berakibat memunculkan kerusuhan di dunia fisik. Bukan keributan di dunia digital atau medsos,” tegas Henri.
Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) itu juga mempertanyakan,
dimana kerusuhan yang timbul akibat dari repost saudara Palti? Ini penting karena merupakan unsur pidana dari pasal baru yang mulai berlaku di UU ITE tahun 2024 yang baru saja ditanda-tangani Presiden Jokowi.
“Pasal 28 ayat (3) merupakan pasal baru di UU ITE. Jadi, penangkapan Palti ini merupakan kasus pertama yang terjadi yang dijerat dengan pasal itu. Sayangnya penggunaan pertama kali pasal baru ini justru dilakukan secara salah,” kata Henri.
Persoalannya adalah, sambung Henri, apa benar percakapan yang terekam dari aparat di Kabupaten Batu Bara tersebut adalah berita bohong alias faktanya tidak benar? Sudahkah polisi memiliki dua alat bukti permulaan terkait rekaman itu sebagai hoax atau manipulasi fakta? Ini juga harus dijelaskan oleh polisi.
“Makanya kasus sensitif seperti ini harusnya ada gelar perkara yg dilakukan secara terbuka dahulu, dan menghadirkan ahli-ahlinya, sehingga tidak terkesan polisi gegabah dalam menangkap orang dengan penerapan pasal secara salah,” imbuhnya.
Terlebih pada surat Perintah Penangkapan, polisi juga menggunakan pasal-pasal lain yang sanksi hukumnya di atas 5 tahun sehingga bisa menahan tersangka. Tapi pasal-pasal itu juga diterapkan secara salah.
“Termasuk dalam penggunaan pasal 32 UU ITE. Di surat perintah penangkapannya sendiri, penulisan uraian pasal penyebaran pemberitahuan bohong yang dipakai polisi juga salah. Yang tertulis masih bunyi pasal di UU No 1 tahun 1946 yg sudah tidak berlaku karena sudah diperbarui dalam pasal 28 ayat (3) UU no 1 th 2024,” tandas ia.
Maka dengan ini kami dari mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Pro Demokrasi mendesak Bareskrim Polri untuk segera membebaskan saudara Palti Hutabarat.
“Kami mendesak Polri dan aparat hukum lainnya agar netral dalam menyikapi dan mengkawal Pemilu 2024,” ujar Rahmat.